AWAL abad 20 adalah saat dimulainya penerbangan pesawat bermotor (powered flight). Dunia penerbangan tentu masih ingat pengalaman terbang perdana dengan pesawat Wright Flyers oleh dua bersaudara Wilbur dan Orville Wright pada akhir 1903. Ketika itu mereka terbang di atas Kitty Hawk, negara bagian North Carolina, Amerika Serikat, yang kemudian diakui sebagai pelopor powered flight, penerbangan pesawat bermotor.
Dengan mengudaranya (airborn) Wright Flyers, maka sejak saat itu para pembuat pesawat mulai mencari solusi bagaimana idealnya mesin penggerak (power plant) yang akan menjadi sumber tenaga untuk dipasang di pesawat yang mereka ciptakan. Di samping ringan dan kuat untuk sebuah mesin terbang, kebutuhan lain yang juga harus dipenuhi adalah reliable, artinya tangguh tidak mudah ngadat dan mogok.
Mesin piston (piston engine) empat langkah dengan pendinginan udara sudah sejak lama menjadi motor penggerak pesawat buatan pabrik-pabrik di Amerika dan Eropa. Setelah beberapa dekade, jenis mesin ini tetap saja tidak banyak berubah.
Mesin piston menggunakan bensin yang lebih dikenal dengan sebutan Avgas (Aviation Gasoline) sebagai bahan bakar pesawat. Yang menjadi persoalan adalah Avgas saat ini sangat mahal dan semakin sulit didapatkan (di Indonesia mencapai lebih dari Rp 25.000/liter). Kendati begitu mesin piston yang sebagian besar didominasi oleh produk dari Lycoming dan Continental ini masih tetap menjadi pilihan untuk pesawat-pesawat General Aviation atau pesawat yang umum digunakan untuk latihan di Flying School, untuk pesawat pertanian, penerbangan perintis, juga pesawat kecil bermesin tunggal yang banyak dioperasikan untuk misi sosial keagamaan nonkomersial di daerah pedalaman.
Pesawat dengan piston engine yang besar (Radial Engine), hampir bisa dipastikan tidak ada yang beredar lagi. Sekarang tidak ada lagi perusahaan penerbangan, baik carter maupun berjadwal yang mau mengoperasikannya secara komersial, karena akan sangat sulit untuk menutup biaya operasinya.
Ujung-ujungnya beberapa pesawat berpiston ini dibiarkan grounded, ditinggalkan jadi besi tua atau untuk dijadikan monumen, karena tidak mempunyai nilai ekonomis lagi. Kalaupun masih ada yang serviceable, pasti lebih karena alasan kebutuhan seperti preservasi nilai keantikannya (Vintage Aircraft) atau untuk airshow, edukasi atau kegiatan lainnya
Semakin banyak beroperasinya pesawat-pesawat bermesin turbin (turbo-prop/jet) di Indonesia,juga mengakibatkan permintaan avgas untuk pesawat bermesin piston kian berkurang, sampai pada kondisi yang menjadikannya sangat tidak efisien dan mahal bagi pemasoknya, Pertamina. Guna menyediakan avtur di Indonesia, BUMN ini hanya memasok avgas di beberapa bandara tertentu; itu pun dengan volume terbatas atau atas pesanan khusus.
Suplemental Type Certificate (STC)
Dalam hal pengoperasian mesin piston, memang ada kemudahan, yaitu berupa Supplemental Type Certificate (STC) yang mungkin saja dikeluarkan oleh otoritas penerbangan, berupa sertifikat pemberian izin terbatas untuk penggunaan Mogas (bensin mobil) bagi mesin piston yang terpasang pada pesawat tertentu. Namun tidak semua tempat di Indonesia tersedia bensin yang memenuhi syarat seperti itu, terutama di kota-kota kecil.
Tetapi dengan kelonggaran ini, paling tidak, para operator yang pesawatnya sudah mendapatkan STC itu bisa bernapas lega, karena mereka bisa mengoptimalkan operasional armada pesawat piston ber-STC itu.
STC bisa diberikan oleh otoritas penerbangan untuk produk kelas-1. Contohnya ya seperti mesin pesawat terbang ini. Mengenai proses penggunaan Mogas, operator harus dapat membuktikan bahwa mesin pesawatnya aman menggunakan bahan bakar ini. Juga setelah melewati beberapa tahap pengujian, tes laboratorium, evaluasi engineering, uji terbang dan verifikasi yang semuanya perlu waktu dan biaya.
Ada cara lain lagi untuk memberdayakan pesawat-pesawat bermesin piston. Di Amerika, beberapa perusahaan melakukan perubahan mesin (re-engine). Dengan STC yang didapat dari FAA, mereka melakukan modifikasi berupa konversi ke mesin turboprop pada pesawat-pesawat tua seperti Dakota, Convair, Grumman, DH-Otter/Beaver, Beech, dan sebagainya. Dengan mesin turboprop, usia pakai pesawat gaek ini bisa diperpanjang sampai beberapa tahun lagi dan masih cukup layak untuk mencari duit.
Diesel Sebagai Alternatif
Guna memecahkan masalah sulitnya mengoperasikan pesawat bermesin piston berbahan bakar avgas, pesawat bermesin diesel bisa dijadikan pilihan, mengingat fleksibilitas pemenuhan kebutuhan BBM-nya relatif mudah diperoleh dan murah.
Mesin diesel untuk pesawat terbang yang tersedia di pasaran saat ini dapat menggunakan avtur (Jet-A1) atau solar, bahkan bisa juga dioperasikan dengan biodiesel, produk bahan bakar ramah lingkungan ekstraksi dari tumbuh-tumbuhan yang go green, eco friendly yang akhir-akhir ini sedang ramai digalakkan.
Mesin diesel sebetulnya bukan hal yang baru dalam dunia perpesawatan. Pada 1928 sebuah Stinson Detroiter bermesin Packard mengukir sejarah sebagai pesawat bermesin diesel pertama yang berhasil diterbangkan di Amerika, tepatnya di Utica, Michigan, sedangkan di Eropa ketika PD-II armada Angkatan Udara Jerman (Luftwafe) saat itu seperti Messerschmit, Junker, Dornier dan lain-lain sudah mengudara dengan mesin diesel buatan Daimler dan BMW. Maka tidak mengherankan jika mesin yang mengambil nama dari penciptanya Rudolf Diesel yang berkebangsaan Jerman itu berkembang pesat di negerinya.
Masyarakat umum selama ini lebih mengenal mesin diesel dengan suara kasarnya dan berasap hitam pekat. Apa mau dikata begitulah mesin yang pada awalnya kurang diminati untuk dijadikan power plant (mesin) pesawat terbang, terutama karena alasan beratnya yang dianggap sangat tidak ideal untuk sebuah pesawat terbang. Tapi mesin diesel untuk pesawat kini mulai ramai diproduksi.
Dengan teknologi alloy material dan elektronika digital yang berkembang pesat pada dekade ini, memungkinkan mesin diesel untuk pesawat terbang yang diproduksi menjadi semakin baik performance-nya dan ekonomis untuk dioperasikan.
Keunggulan Mesin Diesel
Meskipun lebih berat dibanding mesin piston biasa, mesin diesel bukannya tidak punya keunggulan. Dengan sistem pembakaran kompresinya yang tanpa lompatan bunga api dari spark plugs (busi), justru membuat mesin ini menjadi jauh lebih reliable dan kemungkinan rewelnya lebih jarang.
Seperti diketahui mesin piston dengan sistem pengapian magneto mempunyai kelemahan low power bila pengapian sedikit saja bermasalah, seperti bila ada busi yang kotor atau magneto misadjustment, atau bahkan bila magneto gagal mesin akan mogok sama sekali. Begitu juga apabila carburator masih digunakan sebagai sistem pasokan bahan bakarnya, maka akan sangat rentan dengan terjadinya pembentukan es (icing) pada induction system-nya.
Kelebihan diesel lainnya adalah mampu menghasilkan torsi yang besar pada putaran mesin rendah, menjadikan mesin seagai sumber tenaga ideal untuk memutar propeller.
Jadi dari aspek safety, mesin diesel sebetulnya lebih baik. Belum lagi dalam hal spesifikasi konsumsi bahan bakarnya (specific fuel consumption) yang rendah dan terbilang irit. Kelebihan ini menjadi alasan utama pemanfaatan diesel sebagai salah satu pilihan power plant untuk pesawat terbang di masa mendatang.
Satu lagi keunggulannya yang mungkin penting untuk dikemukakan adalah karakteristik emisi gas buangnya yang lead free, tidak mengandung timbal beracun, membuatnya environmentally friendly, lebih ramah lingkungan.(*)
Sumber : http://tabloidaviasi.com/featured/pesawat-bermesin-diesel-mungkinkah/
0 komentar:
Posting Komentar