Minggu, 31 Oktober 2010

Fenomena Letusan Gunung Merapi Planet lain


 Gunung berapi menunjukkan kekuatan alam yang luar biasa sama seperti beberapa kejadian alam lainnya.

Pada awal tahun ini, abu dari letusan sebuah gunung berapi di Eslandia mampu mengganggu kegiatan penerbangan di atas langit Eropa Utara. Namun letusan ini belum bisa dibandingkan dengan apa yang terjadi di atas permukaan Io, satelit alami Jupiter, yang merupakan planet teraktif secara geologis di Tata Surya kita.
Sekarang, setelah para astronom menemukan planet-planet berbatu yang mengorbit bintang nun-jauh disana, maka pertanyaan baru timbul: Apakah dunia-dunia yang jauh di sana itu memiliki gunung berapi? Jika iya, bisakah kita mendeteksinya? Penelitian yang dikerjakan oleh ahli teori dari Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics menjawab dengan yakin “Bisa”.

“Anda membutuhkan sesuatu yang sangat dahsyat, sebuah letusan yang membuang gas dengan jumlah yang sangat banyak ke atmosfir,” kata Lisa Kaltenegger, astronom dari Smithsonian. “Dengan memakai James Webb Telescope, kita mampu melihat sebuah letusan seukuran 10 sampai 100 kali letusan Pinatubo (gunung berapi di Filipina yang meletus dahsyat di bulan Juni, 1991) di bintang terdekat,” Lisa menambahkan.

Para astronom masih jauh dari menyanggupi untuk mendapatkan gambar permukaan planet lain yang jauh atau exoplanet. Meski demikian, dalam beberapa kasus mereka telah mampu mendeteksi atmosfir dari sebuah exoplanet yang dikenal sebagia “hot Jupiter”. Sebuah erupsi akan mengirimkan asap dan bermacam-macam gas, sehingga aktivitas vulkanis di sebuah exoplanet berbatu mungkin akan meninggalkan jejak-jejak atmosfir tertentu.
Untuk mengetahui gas-gas apa saja yang mungkin bisa terdeteksi, maka Kaltenegger dan rekan-rekannya, Wade Henning dan Dimitar Sasselov, mengembangkan sebuah model erupsi pada sebuah exoplanet seukuran Bumi yang didasarkan pada keadaan Bumi masa kini. Mereka menemukan gas sulfur dioksida-lah yang paling banyak terdeteksi. Letusan vulkanis yang dahsyat berpotensi terdeteksi karena memproduksi dan melepaskan banyak gas sulfur dioksida yang membutuhkan waktu lama untuk larut dalam udara.

“Dengan melihat erupsi vulkanis di suatu exoplanet akan memberikan kita tambahan data mengenai perbedaan dan persamaan antara planet-planet berbatu di luar sana.”

Erupsi Gunung Pinatubo di Filipina pada Juni 1991, melepaskan sekitar 17 juta ton sulfur dioksida ke stratosfir – suatu lapisan udara yang terletak di ketinggian antara 9 hingga 48 km di atas permukaan Bumi. Erupsi terdahsyat yang pernah terekam dalam sejarah, letusan Tambora pada 1815, setidaknya berkekuatan 10 kali letusan Pinatubo.

Letusan dengan skala sebesar itu tentu saja jarang muncul, hal ini membuat para astronom harus terus menerus memonitor banyak planet seukuran Bumi selama beberapa tahun untuk menemukannya. Tetapi, jika planet asing lain lebih aktif secara vulkanik dari-pada Bumi, maka tingkat kesuksesan akan makin meningkat.

“Letusan sekelas Tambora jarang terjadi di sini, tapi bisa jadi lebih sering terjadi di planet yang lebih muda, atau planet yang  mengalami tidal lock seperti Io,” kata Henning. “Sekali anda menemukan sebuah erupsi, maka kita akan terus melihat untuk menemukan letusan berikutnya sekaligus mempelajari apakah letusan yang sering muncul juga merupakan hal yang biasa terjadi di planet lain.”

Untuk melihat gas vulkanis sulfur dioksida, para astronom harus mengandalkan satu-satunya instrumen pengamatan yang dikenal sebagai secondary eclipse (gerhana kedua), yang terjadi apabila sebuah planet bersilangan di belakang bintangnya ketika terlihat dari Bumi. Dengan mengumpulkan sinar dari bintang dan planet, kemudian mengurangi tingkat kecemerlangan cahaya bintangnya, sehingga para astronom akan mendapat sinyal dari planet itu sendiri. Sinyal itu kemudian dianalisa untuk menemukan tanda-tanda molekul kimiawi tertentu.

Sebuah planet Super-Bumi yang relatif dekat dengan Tata Surya kita akan menjadi ladang pembuktian terbaik untuk penemuan ini. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku bagi planet mirip Bumi yang terletak di kejauhan 30 tahun cahaya lebih.
 
Sumber : http://erabaru.net/iptek


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Favorites More