Selasa, 07 Desember 2010

GURU-GURU


Ada banyak pengusaha dan ada banyak petani di negeri ini. Namun pengusaha yang sekaligus petani modern mungkin tak banyak, apalagi yang bermukim di Jakarta. Salah satunya adalah Bob Sadino, petani kaya yang memiliki Kem Chicks di Jakarta Selatan (supermarket dengan sekitar 18.00 item dagangan dan dikunjungi sekitar 2.500 orang per hari), Kem Foods (memproduksi aneka ragam daging beku berbentuk sosis, burger, bakso), dan Kem Farms di Jawa Tengah (penghasil sayuran dan buah-buahan, dimana budidaya hidroponik dilakukan dengan berhasil). Tidak kurang dari 1.300 karyawan menggantungkan hidupnya dari usaha milik Tuan Sadino ini.

Bob Sadino adalah entrepreneur farmer yang unik. Keunikannya langsung nampak secara fisik sejak ia mengenakan "pakaian dinasnya" yang sampai sekarang masih itu-itu juga: celana jins belel pendek, baju lengan pendek yang potongannya tak berjahit, dan sepatu tanpa kaos kaki. Dan dengan "seragam kiwir-kiwir" khas itulah ia pernah berbincang-bincang dengan para pejabat pemerintahan sampai tingkat presiden, sejak jaman Soeharto berkuasa.

Liputan media tentang sepak terjangnya selama dua dekade terakhir ini sudah tak terbilang banyaknya. Nama dan potret dirinya tampil dimana-mana, baik di media cetak maupun elektronik, baik di dalam negeri maupun dari luar negeri. Lelaki kelahiran Tanjungkarang, Lampung, 9 Maret 1933, ini memang memiliki banyak sisi kehidupan yang menarik untuk disimak. Ia memulai usahanya dari nol, dan didukung penuh oleh Soelami, istri yang dinikahinya 31 Juli 1967 dan memberinya dua putri, Myra Andiani dan Shanti Dwi Ratih.

Pada awalnya, sekitar 30 tahun silam, Bob meninggalkan pekerjaan sebagai pelaut, tukang batu, dan sopir taksi, untuk memulai bisnisnya dengan 50 ekor ayam ras dan bertelur lima kilogram. Dari jualan telur ia kemudian mulai menjual ayam potong, lalu secara bertahap toko kecilnya itu berkembang hingga menjadi supermarket yang sangat dikenal orang. Penampilan fisiknya yang lebih mirip seniman ketimbang pengusaha adalah sisi lain yang mengundang perbincangan. Kepiawaiannya mengolah kata dalam berbagai seminar memberikan nuansa lain lagi pada dirinya. Belum lagi konsep suksesnya bahwa sukses tidak perlu konsep. Semua itu, langsung atau tidak, ikut berperan membuatnya bagai magnit bagi pemberitaan di berbagai peliputan.

Secara pribadi saya pertama kali bertemu dengan Om Bob, begitu saya memanggilnya, tahun 1990. Waktu itu, bersama wartawati senior Atiek Wishnubrata, saya mewawancarainya seharian sejak pagi hingga sore hari. Dari rumahnya yang dulu, kami diajak berbincang lama di "kandang kuda" seluas 2 hektar di kawasan Lebak Bulus, yang sekarang menjadi tempat ia bermukim di Jakarta Selatan. Dalam kesempatan itu sisi intelektualnya yang menonjol. Ia dengan tangkas memberikan tanggapan terhadap konsep-konsep sukses versi Dale Carnegie dan Stephen R. Covey, dua nama besar dalam bidang personal and people development kala itu. Ia juga mahir mengutip teori Abraham Maslow, salah seorang pelopor psikologi humanistik.

Lama tak berkomunikasi, siapa sangka saya kembali bertemu dengan Om Bob di panggung seminar awal tahun 2001 lalu. Ia sendiri tak terlalu ingat pada saya. Namun agaknya ia merasa ada sedikit persamaan di antara kami, ketika saya menggagas Indonesia School of Life. Kalau dalam buku-buku saya yang terbit sejak akhir 1998 saya sering menggunakan istilah "sekolah dan universitas kehidupan", maka dalam buku bertajuk Agribisnis yang Membumi - Kisah Sukses Bob Sadino karya Sjamsoe'oed Sadjad (Grasindo, 2001), Om Bob juga menggunakan istilah yang sama. Suatu kebetulan yang sama sekali tak direncanakan, saya kira. Dan boleh jadi itulah sebabnya ia kemudian kembali mengundang saya untuk "main" ke "kandang kuda" yang sudah berubah menjadi "kandang keluarga" itu.

Ada banyak hal yang saya pelajari dari Om Bob. Di antaranya adalah: pertama, kepekaannya terhadap peluang usaha. Ia selalu "membaca pasar" dan sering mengaku bahwa "saya ini orang pasar". Artinya, ia hanya menjual apa yang memang ingin dibeli orang darinya. Kedua, kreativitasnya untuk menciptakan aneka produk dan ide-ide bernas untuk dijual. Produk dijual lewat perusahaannya, sementara ide-ide dijual kepada peserta berbagai jenis seminar yang melibatkan dirinya. Ketiga, keberaniannya mengambil risiko, tidak saja dalam berbisnis, tetapi juga dalam bentuk penampilan fisiknya yang unik itu. Ada banyak orang yang ingin tampil unik. Namun yang berani untuk benar-benar tampil unik sangatlah sedikit. Saya masih ingat bagaimana para anggota DPR yang mengundang Om Bob untuk suatu acara dengar pendapat, menolak kehadirannya karena penampilan fisiknya dianggap "kurang menghormati" lembaga tinggi negara. Potretnya dengan "seragam kiwir-kiwir" saat bersama Presiden Soeharto di lahan pertaniannya mendemonstrasikan keberanian untuk tampil beda itu dalam bentuknya yang paling ekstrim, saya kira. Jadi, secara keseluruhan, ketika orang belum banyak bicara soal pentingnya merek dan brand, Om Bob sudah tampil dengan "merek" dan "brand"-nya sendiri.

Sisi lain yang paling saya kagumi dari Om Bob adalah kerendahan hati dan kejujurannya. Ia tidak sungkan datang menjadi peserta seminar yang diminatinya dan rela hanya duduk diam mengunyah-nguyah ide-ide yang dihidang narasumber yang jauh lebih muda dan "lebih miskin" darinya. Terkadang ia membawa "anak-anaknya" (karyawan yang menduduki posisi strategis di berbagai perusahaannya) dan dengan demikian secara langsung mendidik mereka untuk terus belajar. Dan jika dibandingkan dengan banyak pengusaha karbitan yang melambung karena ber-KKN dengan penguasa, Om Bob saya kira termasuk dalam kategori pengusaha yang relatif jujur.

Meski kami sama-sama bersepakat bahwa "sekolah" dan "universitas" sejati adalah "kehidupan", namun posisi kami berbeda. Om Bob lebih pantas menjadi "guru" dan "dosen", sementara saya masih berstatus sebagai "pembelajar". Karenanya, kalau saya diminta membuat daftar seratus hal yang saya syukuri dalam hidup saya di "Sekolah Kehidupan Indonesia", maka salah satunya adalah kesempatan untuk bertemu dengan "guru" saya yang kumis dan rambutnya semakin memutih, namun semangat dan pikirannya masih terang benderang seperti saat pertama kali kami bertemu sebelas tahun silam.
Sumber : Google Image
 Setiap kali saya berbicara mengenai konsep "sukses tanpa gelar" --judul buku saya yang pertama-- maka ingatan saya segera melayang ke sosok Om Bob. Ia telah menjadi salah satu evidence tak terbantahkan bahwa bagi mereka yang hanya sempat mengenyam pendidikan formal (pengajaran) sampai tingkat sekolah menengah pun menjadi petani modern yang sukses itu masih dimungkinkan. Dan sekali pun saya tidak pernah ingin menjadi petani kaya raya atau Bob Sadino nomor dua, mudah-mudahan sebagai "murid", apa yang saya sumbangkan bagi proses "revolusi pembelajaran" di negeri ini tidak mempermalukan sang "guru" yang "sukses tanpa gelar" itu.


Oleh :  Andrias Harefa


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Favorites More