Jumat, 10 Desember 2010

Logika Bengkok



SEORANG kawan bernama Andrias Harefa dalam berbagai forum sangat suka menyitir pendapat Larry Ellison. Larry, bos Oracle, pada bulan September 2000 diundang oleh Yale University untuk memberi sambutan wisuda sarjana. Kata Larry, seperti disitir Harefa ``Saya berbicara di forum ini bukan untuk Bapak-Ibu yang duduk di sebelah kanan saya. Atau kepada mahasiswa-mahasiswa yang duduk di depan saya. Saya berbicara untuk mahasiswa yang berdiri di ujung sana.`` Bapak-Ibu yang dimaksud Larry adalah para guru besar Universitas Yale. Sedang mahasiswa yang tepat di depannya adalah mahasiswa yang hendak diwisuda. Sedangkan kerumunan mahasiswa yang berdiri di ruang belakang merupakan mahasiswa yang masih kuliah. 
``Universitas adalah lembaga yang membunuh kreativitas secara sistematik. Kalau Anda ingin sukses, cepat tinggalkan bangku kuliah. Belajarlah sendiri. Lahaplah buku-buku. Otak-atiklah ilmu pengetahuan. Jangan kuliah!`` kata Larry Ellison mantap. ``Dan Anda yang mau diwisuda, gaji Anda besok tidak lebih dari US$200.000. Lebih dari itu, yang menggaji Anda adalah orang-orang yang drop out kuliah.`` 

``Saya tidak sedang membual. Tapi lihatlah fakta. Siapa orang yang paling kaya sedunia? Bill Gates. Dia drop out kuliah. Yang terkaya nomor dua? Saya, Larry Ellison. Saya juga tidak lulus kuliah. Terkaya ketiga? Paul Allen, manusia yang tidak jelas kuliahnya. Terkaya keempat? Michael Dell. Apakah Dell lulus kuliah? Tidak. Jadi kalau ingin sukses, jangan kuliah!`` Gemparlah Universitas Yale dan jagat pendidikan tinggi seluruh dunia lantaran ucapan Larry. 

Bill Gates, Larry Ellison, Paul Allen, Michael Dell memang manusia-manusia fenomenal. Dalam usia yang belum genap 40, mereka sudah menjadi orang-orang terkaya dunia. Kekayaan Bill Gates ditaksir sebesasr US$53 miliar, Larry Ellison US$52,1 miliar, sedangkan Paul Allen dan Michael Dell tak jauh dari US$50 miliar. Mereka manusia yang tak lulus kuliah. Namun perusahaan milik mereka banyak mempekerjakan manusia-manusia terbaik lulusan universitas terbaik. Apakah sukses bisnis harus dilalui dengan jalan drop out kuliah? 

Sukses bisnis memang tidak selalu ekuivalen dengan sukses pendidikan. Banyak orang yang terbatas pendidikannya, namun sukses berbisnis. Lantas bukan berarti kalau ingin sukses berbisnis harus berhenti kuliah. Pernyataan Larry Ellison memang terlalu provokatif. Benar dia dan kawan-kawannya tidak lulus kuliah. Namun harus pula diingat, hampir seluruh program dan teknologi yang dipakai perusahaan mereka hasil riset universitas terkemuka di Amerika, terutama MIT University. 

Di sisi lain banyak kepongahan dilakukan lembaga pendidikan tinggi dalam menyikapi perkembangan bisnis mutakhir. Salah satu kepongahan itu ditunjukkan dengan ketertinggalannya kurikulum pendidikan tinggi beserta buku-buku literatur yang nyaris masih terpukau pada kondisi bisnis tahun 80-an. Demikian pula dengan para pengajarnya yang lebih suka konsep-konsep lama bisnis ketimbang mempelajari apalagi mencipta konsep-konsep bisnis baru. Akibat kepongahan lembaga pendidikan tinggi, hasil akhir bernama manusia sarjana ikut-ikutan pongah. 
Gelar akademis yang disandangnya seakan-akan menjadi jaminan utama untuk sukses mengelola bisnis. Padahal, berapa banyak manusia bergelar sarjana ekonomi manajemen yang mampu menjadi manajer andal? 
Kritikan Larry Ellison terhadap kualitas pendidikan tinggi memang pantas dicermati. Namun anjuran Larry agar meninggalkan bangku kuliah, patut ditanggalkan. Bangku kuliah, walaupun kedodoran mengejar kemajuan peradaban, masih memberikan kepada peserta didiknya untuk berpikir metodis, rasional, dan terstruktur. Berpikir metodis, rasional, dan terstruktur, hal demikian yang kini dijalankan oleh pelaku-pelaku bisnis sukses. Apalagi dengan ikut `campur tangannya` teknologi informasi di dalam bisnis yang menuntut berpikir rasional. 
Larry Ellison yang tinggal di Amerika mengkritik sistem pendidikan bisnis di Amerika, walaupun pendidikan bisnis terbaik di bumi ini tetap Amerika. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana kritikan Larry Ellison bila melihat sistem pendidikan bisnis di negeri kita. Dengan uang Rp 5 juta, kita dapat menyandang gelar MBA. Ditambah uang Rp 10 juta lagi, di depan nama kita tertempel gelar Dr. Sebuah jual-beli gelar yang kita yakini tidak ada dalam ilmu marketing mana pun. 

Proses jual-beli memang lazim dalam kehidupan ini. Namun menjadi tidak lazim manakala produk dalam jual-beli ini berupa gelar. Terlebih lagi gelar-gelar tersebut berada dalam wilayah bisnis. Master of Business Administration (MBA) dan Magister Management (MM) merupakan gelar prestisius yang diharapkan penyandangnya mampu mengelola organisasi bisnis. Dalam kurikulum MBA dan MM tidak saja diajarkan strategi bisnis, tapi juga etika bisnis sehingga kelak bisnis yang ditangani etis dan profesional. 

Logika bengkok sekarang banyak dipakai oleh manajer bisnis. Mereka ingin disebut profesional, sementara gelar-gelar yang disandangnya tidak profesional. Mereka ingin dipandang sebagai manusia terhormat, sementara tempelan gelarnya diperoleh tidak dengan cara terhormat. Mereka ingin disanjung sebagai manajer beretika, sementara gelar-gelarnya jauh dari prinsip-prinsip etika akademik. 

Gelar yang merupakan buah dari proses pendidikan, sekali lagi, tidak ekuivalen dengan kesuksesan bisnis. Alangkah malangnya manajer-manajer yang sekarang berburu gelar, sementara cara berburunya tidak lazim. Lebih malang lagi bila gelarnya dengan bangga ditempel di kartu namanya, sementara cara kerjanya jauh dari sikap-sikap profesional.

Profesionalisme bisnis tidak diukur dengan berderet-deret gelar yang tertempel di namanya. Profesionalisme bisnis ukurannya sederhana; mampu membuat untung perusahaan, meningkatkan kesejahteraan karyawan, bertanggung jawab sosial, ikut memajukan negara yang semua itu dibingkai melalui cara kerja etis. 


Sumber : www.mahardika21.com


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Favorites More